ERA PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kontek sejarah perlu kiranya mengetahui
sejarah perkembangan ilmu dan falsafahnya. Disinilah perlunya kita tinjau
filsafat ilmu dan sejarah perkembangannya secara integral. Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara realitas sosial.
Filsafat ilmu merupakan ‘induk’ dari ilmu
pengetahuan yang mendasari logika, bahasa, dan matematika[1]. Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari
filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah
perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba,
kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat
yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme[2].
Berbicara tentang perkembangan filsafat, pada awal
kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan (ilmu) pengetahuan yang
muncul pada masa peradapan kuno (masa Yunani). Pada tahun 2000 SM, bangsa
Babylon yang hidup dilembah sungai Nil (Mesir) dan sungai Efrat telah mengenal
alat pengukur berat, tabel bilangan berpangkat, tabel perkalian menggunakan
sepuluh jari.
Piramida yang merupakan salah satu keajaiban dunia
itu, ternyata membuatnya menerapkan geometri dan matematika, menunjukkan cara
berpikirnya yang sudah tinggi. Selain itu merekapun sudah dapat mengadakan
pengamatan benda-benda langit, baik Bintang, Bulan maupun Matahari sehingga
dapat meramalkan gerhana Bulan maupun gerhana Matahari. Ternyata ilmu yang
mereka pakai dewasa ini disebut astronomi. Di India dan China, saat itu telah
ditemukan cara pembuatan kertas dan kompas (sebagai petunjuk arah).
Penemuan demi penemuan yang dilakuakan oleh manusia
hingga jaman sekarang ini tidaklah terpusat di suatu tempat atau wilayah
tertentu.
1.2.
Rumusan masalah
Berdasarkan
penjelasan dapat diambil suatu rumusan dari penulisan makalah ini:
1. Bagaimana
sejarah era perkembangan filsafat ilmu?
1.3.Tujuan
Penulisan
Adapun
yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk
mengetahui sejarah era perkembangan
filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat ilmu merupakan hal yang sangat penting
utamanya dalam pengkajian ilmu pengetahuan, karena filsafat ilmu merupakan keinginan
mendalam untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketaui sebelumnya. Makalah ini
akan berusaha mendiskripsikan secara singkat era perkembangan filsafat ilmu.
Dalam
uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembanagn filsafat ilmu
berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah
panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, pemakalah membagi tahapan
perkembangannya kedalam empat fase sebagai berikut:
1. Filsafat
Ilmu Zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya
Rennaisance
2. Filsafat
Imu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3. Filsafat
Ilmu zaman modern, sejak era positivisme
sampai akhir abad ke sembilan belas
4. Filsafat
Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir filsafat ilmu sejak awal abad
keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan ilmu di empat fase tersebut akan
penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan
filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase
tersebut yang memebedakannya dari fase-ase sebelum dan sesudahnya. Di samping
itu penulis akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan
filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam susatu fase tersendiri.
2.1.
Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat
yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa
Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal
mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca:
filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat
yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri
ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada
zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu
merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian
episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini
oleh Aristoteles diartikan sebagai an
organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat
dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran
Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga
bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike
(pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis). [3]
Pemikiran
dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada
kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada
pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas
yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa
kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan
pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa
setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima
principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.[4]
Pemikirannya
hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah
sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama
ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles
diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap
bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai
sumber pengetahuan.
Aristoteles
adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance.
Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah
pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor,
premis minor dan konklusi.
2.2.
Filsafat Ilmu Era Rennaisance
Memasuki
masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan
baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori
oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei
(1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah
serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya
pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandai dengan
munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon
lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Bacon
menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun
harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya
dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka
itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia.
Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human
knowledge adalah human power.
Perkembangan
ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis
memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh
abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah
peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang
Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu
pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat
di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu
pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu
bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang
absurd.
Kehadiran
Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang
metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam
Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah
dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.
Hart
mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan
filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan
penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan
menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah.
Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia
menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah[5] Menurut
Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan
(memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut
merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa
dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut
filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.
Sebagai
pelopor perkembangan filsafat ilmu pengetahuan, Roger Bacon juga menguraikan
tentang logika. Bacon menyusun logika meliputi empat macam keterampilan (ars)
yaitu bidang penemuan (ars inveniendi), bidang perumusan kesimpulan secara
tepat (ars iudicandi), bidang mempertahankan apa yang sudah dimengerti (ars
retinendi), dan bidang pengajaran (ars tradendi).
Di
sini nampak bahwa di tengah kancah perkembangan ilmu yang larut dengan pengaruh
Aritoteles kehadiran Bacon berusaha untuk mengubah opini umum tentang
sillogisme yang telah ditawarkan Aristoteles sebelumnya. Bacon mengatakan bahwa
logika yang digunakan sejak zaman Aristoteles hingga sekarang (zamannya, pen.)
lebih merugikan dari pada menguntungkan. Sillogisme terdiri atas
proposisi-proposisi. Proposisi terdiri atas kata-kata dana kata-kata adalah
simbol pengertian. Sebab itu apabila pengertian itu sendiri yang merupakan
persoalannya kacau balau dan secara tergesa-gesa diabstraksikan dari pada
faktanya, maka tidak mungkin diperoleh .. atas yang kokoh satu-satunya harapan terletak
pada induksi modern.
Dalam
perkembangan selanjutnya muncul John Locke (1632-1714) David Hume (1711-1776)
dan Immanuel Kant (1724-1804). Ketiga filosof ini memberi pengaruh cukup besar
terhadap perkembangan filsafat ilmu selanjutnya. Locke berpendapat bahwa ketika
seorang bayi lahir akalnya seperti papan tulis yang kosong atau kamera yang
merekam kesan-kesan dari luar. Pengetahuan hanya berasal dari indra yang
dibantu oleh pemikiran, ingatan, perasaan indrawi diatur menjadi bermacam-macam
pengetahuan. Locke mengakui adanya ide bawaan (innate ideas). Dalam
perkembangan pengetahuan teori Locke dikenal dengan istilah teori tabula rasa.
Berdasar
pada empirisme radikal yang dianutnya Hume yakin bahwa cara kerja logis induksi
yang diperkenalkan oleh Bacon tidak mempunyai dasar teoritis sama sekali.
Logika induktif ialah kontradiksi: dua kata yang bertentangan satu sama lain
sebab induksi melanggar salah satu hukum logika yaitu bahwa kesimpulan tidak
boleh leboh luas dari pada premis. Sanggahan Hume ini secara konsekwen sesuai
dengan anggapan dasarnya bahwa hanya ada dua cara pengetahuan, yaitu
pengetahuan empiris dan abstract reasoning concerning quantoty or number, yang
keduanya deduktif.
Kant
dalam hal ini memperkenalkan cara pengenalan dan mengambil kesimpulan secara
sintetis yang di peroleh secara a posteriori dan putusan analitis dan diperoleh
secara a priori, di samping itu juga kesimpulan yang bersifat sintetis yang
juga diperoleh secara a priori. Ilmu pasti disusun atas putusan yang a priori
yang bersifat sintetis. Ilmu
pengetahuan mengandaikan adanya putusan - putusan yang memberikan pengertian
baru (sintetis) dan yang pasti mutlak serta bersifat umum (a priori). Maka ilmu
pengetahuan menuntut adanya putusan-putusan yang bersifat a priori yang
bersifat sintesis.
Ketiga teorinya ini dikenal dengan nama Kritik
Rasio Murni yang dikemukakan dalam Kritik der Reinen Vernunft. Memasuki abad
XIX muncul Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) memperkenalkan filsafat
Wissenchaftslehre atau Ajaran Ilmu Pengetahuan (Epistimologi), yang bukan-nya
suatu pemikiran teoritis tentang struktur dan hubungan ilmu pengetahuan
melainkan suatu penyadaran tentang pengenalan diri sendiri yaitu penyadaran
metodis di bidang pengetahuan itu sendiri.
Fichte
menentang Kant yang mengatakan bahwa berfikir secara ilmu-pasti alamlah yang
akan memberikan kepastian di bidang pengenalan. Fichte tidak memisahkan antara
rasio teoritis dan rasio praktis.
Selanjutnya
muncul John Stuart Mill (1806-1873). Dalam A
system of Logic Mill menyelidiki dasar-dasar teoritis falsafi proses kerja
induksi. Mill melihat bahwa tugas utama logika dalam bidang mengatur cara kerja
induktif lebih dari sekedar menentukan patokan deduksi logistis yang tak pernah
menyampaikan pengetahuan baru kepada kita. Dalam menguraikan logika induktif
Mill mau menghindari daya eksterm yaitu generalisasi empiris dan mencari
dukungan dalam salah satu teori mengenai induksi atau pengertian apriori.
Mill berpendapat bahwa induksi sangat penting,
karena jalan pikirannya dari yang diketahui menuju (proceds) ke yang tidak
diketahui. Menurut Mill, Pengetahuan
yang paling umum dan lama kelamaan muncul untuk diperiksan ialah The Course of
Nature in Uniform yang merupakan asas dasar atau aksioma umum induksi. Asas utama
itu itu paling menjadi paling tampak
dalam hukum alam dasarriah yang disebutnya Law of Causality, artinya setiap
gejala alam yang kita amati mempunyai suatu cause yang dicari dalam ilmu
pengetahuan. Sebab itu adalah keseluruhan syarat-syarat yang perlu (necessary)
dan memadai (suffient) agar gejala terjadi.
Di
abad ini muncul sejumlah tokoh yang pemikirannya erat kaitannya dengan
perkembangan filsafat ilmu, antara lain William Whewel (17954-1866) yang
mendukung adanya intuisi, pertama-tama dalam ilmu pasti mengenai aksiomaaksioma
paling dasar dan menurut contoh ilmu pasti itu titik pangkal unduksi dalam
ilmu-ilmu alam juga bersifat intuitif. Hanya saja arti dan kedudukan intuitif
pada diri manusia tidak diterangkan. Auguste Comte (1798-1857). Menurutnya
sejak jaman teologis dan metafisis sudah tiba jaman ilmu positif (empiris) yang
defenitif.
Dalam
hal ilmu positif Comte membedakan pengetahuan menjadi enam macam ilmu, dari
yang paling abstrak: matematika, ilmu falak, fisika, kimia, ilmu hayat dan
sosiologi. Matematika dipandang sebagai ilmu deduktif, sedangkan lima lainnya
dalam keadaan ingin mendekati deduktif itu. Dalam hal ini Comte berusaha
mengadakan kesatuan antara ilmu pasti dan ilmu empiris.
2.3.Filsafat
Ilmu Era Positivisme
Memasuki
abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme
adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu
dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX
tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina,
di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto
Neurath dan Moritz Schlick. Pada
penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah
diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif.
Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan
filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya. Memasuki abad XX perkembangan
filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu
pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut
Neopositivisme dan Empirisme Logis.
Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris,
Wiener Kreis, Jerman).
Aliran
ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran
dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi
perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama,
Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan
oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan
analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya
ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga
mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat
pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna
untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala
data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua
masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu
pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama
dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan
analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk
memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi
mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa
oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di
mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme.
2.4.Filsafat
Ilmu Kontemporer
Perkembangan
Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan
warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang. Muncul Karl
Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus
merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman
Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori
falsifikasi-nya,
Popper
menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran
positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang
berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat
ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain
Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin
dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar
terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta
mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya
terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas
S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang
banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure
of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan). Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya
terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga
terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan
bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi.
Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara
revolusioner.
Salah
seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di
Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial,
paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran
keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan
kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.
Pemikirannya tentang Anarkisme sebagai kritik
terhadap ilmu pengetahuan seperti menemukan padanannya dengan semangat
pemikiran Postmodernisme yang mengumandangkan semangat dekonstruksionalisme.
Dalam konteks ini apa yang dimaksud Anarkisme oleh Feyerabend adalah suatu
orientasi pemikiran filsafat yang senantiasa menggugat kemapanan suatu teori
ilmiah.
Dalam
Against method, ia menyatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan
perkembangannya tidak bisa diterangkan ataupun diatur segala macam aturan dan
sistim maupun hukum. Perkembangan ilmu terjadi karena kreatifitas individual,
maka satu-satunya prinsip yang tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan ialah
anything goes (apa saja boleh).
Menurut
Feyerabend, dewasa ini ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan
posisi pada abad pertengahan. Ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan
manusia, namun justru menguasai dan memperbudak manusia. Oleh karenanya
Feyerabend menekankan kebebasan individu Dalam tahap perkembangan selanjutnya
muncul Institut Penyelidikan Sosial di Frankfurt, Jerman, yang dipelopori oleh
Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969), Erich Fromm
(1900-1980) dan Herbert Marcuse (1898-1979). Mereka memperbaharui dan
memperdalam masalah teoritis dan falsafi mengenai cara kerja dan kedudukan
ilmu-ilmu sosial.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1.
Kesimpulan
Tahapan perkembangannya Filsafat Ilmu kedalam empat fase sebagai
berikut:
1. Filsafat
Ilmu Zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Rennaisance
2. Filsafat
Imu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3. Filsafat
Ilmu zaman modern, sejak era positivisme
sampai akhir abad ke sembilan belas
4. Filsafat
Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir filsafat ilmu sejak awal abad
keduapuluh sampai sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Gie,
The Liang. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu,
Ed. II. Cet. III; Yogyakarta: Liberty
Hadiwijoyono,
Harun. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat
2. (cet. VIII; Yogyakarta: kanisius.
Munir,
Abdul. 2011. Sejarah perkembangan
Filsafat Ilmu. http://dorokabuju.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perkembangan-filsafat-ilmu.html. Diakses 14 Oktober 2017
Suaedi.
2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor:
IPB press printing
Van
Melsen, A.G.M. 1992. “Wetenschap en
Verantwoordelijkheid” diterjemahkan oleh K. bertens dengan judul: Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita.
Cet. II; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[1]
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu
(Bogor: IPB Press Printing, 2016),hlm. V
[2]
Abdul Munir, Sejarah Perkembangan
Filsafat Ilmu, http://dorokabuju.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perkembangan-filsafat-ilmu.html,
diakses 14 Oktober 2017, jam 16.32 WIB.
[3]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Ed. II.Cet. III; YogyakartaL Liberty, 1997), h.1-2
[4] A.G.M.
Van Melsen, “Wetenschap en Verantwoordelijkheid”, diterjemahkan oleh K. Bertens
dengan judul: Ilmu Pengetahuan dan
Tanggung Jawab Kita. (Cet. II; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.
14
[5] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat
2. (Cet. VIII; Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 15
Komentar
Posting Komentar