(Cerita Panjang) IBU
Aku tersentak dari tidurku dan
tidak menemukan ibu di sampingku. Keringat masih enggan keluar dari tubuhku. Mimpi
buruk itu memaksaku bangun dan keluar dari bayangannya. Seperti biasa, jika aku
tidak menemukan ibuku, aku akan berlari mencari ibu di setiap sudut rumah,
namun kali ini aku tidak bisa menemukan ibuku dengan cepat. Aku sangat takut
ditinggalkan oleh ibu. Aku berlari
hingga keluar rumah tanpa menggunakan alas kaki dan menemukan ibuku sedang
berjalan santai dari kedai terdekat membeli beberapa keperluan untuk makan
malam kami.
Beginilah aku, setiap kali demam
menyerangku. aku akan selalu berada di dekat ibu. di keluarga, aku anak yang paling sering sakit, karena itu aku
sangat dekat dengan ibuku. Karena ibu akan selalu di sampingku setiap kali
aku sakit dan merawatku dengan sabar.
Aku lahir di musim hujan tahun
1994, anak ke 2 dari 2 bersaudara. Aku sering mendengar ayahku dipanggil “BOS”
oleh teman-temannya dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Kakak lelakiku Davit,
lima tahun lebih tua dariku . aku sendiri sering dipanggil Seyya. Di keluargaku akulah yang sangat di
manjakan, karena aku saat ini masih yang paling muda. Namun sebentar lagi ibuku
akan melahirkan anak ketiganya.
Kami tinggal di salah satu kota
besar di negaraku, sebelumnya kami berasal dari desa. Dan ketika ayahku
berhasil mengembangkan usahanya, kami sekeluarga pindah ke kota. Rumah ini baru
tiga tahun kami tempati, Rumah ini indah dengan gerbang besi yang sangat tinggi. Dari gerbang dapat
ditemui jalan setapak berkelok-kelok terbuat dari batu yang disusun menuju
pintu rumah dan dikelilingi bunga-bungaan kesukaan ibu, di samping rumah kami ada pohon mangga yang sangat rindang. Pohonnya
sudah besar, dan buahnya juga manis. Aku selalu memikirkan, sejak kapan pohon
ini hidup disini, namun enggan menanyakannya kepada ayah ibuku. Kami juga
memiliki sebuah kolam renang di belakang
rumah, tapi kolam renang ini hanya untuk kakak lelakiku, aku sangat jarang
diizinkan berenang, karena aku sering sakit jika bermain air agak lama. Rumah kami
termasuk besar untuk ukuran rumah di kota ini. Kami memiliki kamar tidur sendiri-sendiri,
namun ibuku selalu menemani aku hingga aku terlelap. Di
sebelah ruang makan, terdapat ruang kerja ayahku. Tempat dimana ayahku bertemu
teman-temannya dan menjalankan bisnisnya. Belakangan baru kuketahui selain
menjalankan bisnisnya, ayahku juga bos geng di kota ini.
Ayah sangat sibuk dengan mengurus
geng dan bisnis-bisnisnya. Namun di akhir pekan ayah akan tetap meluangkan
waktunya bersama keluarga. Biasanya kami akan pergi ke restoran jepang atau ke
pasar malam. Di rumah juga ibuku selalu
memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Ibuku bukanlah ibu yang cerewet,
ibuku pendiam namun mampu mendampingi ayahku dalam bisnisnya yang semakin
menggurita.
Saat ini aku duduk di kelas 4
sekolah dasar, di sekolah aku juga bukan anak yang pintar, aku hanya suka
menggambar. Guruku memperlakukan aku dengan baik, mungkin karena kedudukan
ayahku juga. Namun dalam pergaulan, teman-temanku hanya sedikit. Aku dengar
sekilas, orang tua mereka melarang anaknya bermain denganku, seorang anak dari bos geng.
Aku merasa kesepian di sekolah namun tidak sekalipun aku menceritakannya kepada
keluargaku. Aku takut menambah kesibukan ayah, ibu dan kakakku.
Di tahun baru yang lalu, ayahku
memberiku hadiah. Sebuah cicin emas putih bermata biru tua mirip sekali seperti
mawar biru. Cincin itu hangat sekali di tanganku. Seakan-akan kebahagiaan yang
diberi menyusup begitu dalam ke hatiku. Aku memakainya selalu. Namun kebahagiaan
ini tidak berlangsung lama, bulan maret tahun ini ibuku melahirkan anak ke tiganya,
adik kecilku. Seorang bayi perempuan cantik berkulit putih terang, namun baru
kusadari ibuku mengalami pendarahan hebat dalam proses melahirkannya. Ibuku harus
menerima enam kantong darah asing ke tubuhnya. Aku menemani ibuku setiap saat
dan meilihat darah-darah itu mengalir ke tubuhnya dengan ngeri. belum pernah terbayang sebelumnya olehku, bagaimana
bisa tubuh kita menerima darah orang lain? Akalku belum sampai untuk memikirkan
hal rumit tersebut.
Setiap saat ibuku selalu
mengatakan kepadaku dan kakakku agar menyayangi adik kami, dan menjaganya selalu. Bagaimana
bisa aku menolak permintaan dari orang yang sangat aku sanyangi? Ayah juga
tidak banyak bicara, namun aku mengerti dari tatapannya, ayahku sangatlah
khawatir. Kakak lelakiku yang selalu menemaniku menjaga ibu, sedangkan ayah
masih harus membagi waktu memantau bisnis barunya. meskipun kakek nenekku juga turut
hadir menemani, namun kakakku tidak pernah meninggalkanku barang sedetikpun.
Pendarahan ibu masih terus
berlangsung dan kulit putih ibu menjadi semakin pucat, ibuku sangat lemah saat
ini, tetapi ibuku terus memaksa untuk menyusui adikku. Adik kecilku selalu manis
digendongan ibu, dan ibuku seperti menemukan semangatnya di adikku. Namun, aku
sangat takut akan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada ibuku. Hal itupun
menjadi kenyataan, tepat di hari kedua keadaan ibuku menjadi semakin kritis, dan
akhirnya ibu mengehembuskan nafasnya dengan mendekap erat adik bayiku dan
menggenggam erat tanganku.
Genggaman itu menjadi semakin
kendor kurasakan. Ibuku tidak memberikan reaksi apapun, panggilanku juga tidak
di jawab oleh ibuku. Kakak lelakiku keluar memanggil dokter dan keluarga
lainnya, kakakku lupa di sebelah kasur ibu ada bel pemanggil otomatis. Kuguncang
tubuh ibuku sambil memanggilnya, namun ibuku tidak lagi menjawab panggilanku
seperti biasa. Duniaku seakan runtuh, hal yang yang paling kutakutkanpun
terjadi. Adik bayiku tersentak dan menangis sekencangnya seakan merasakan
kepergian ibuku.
Ruangan ibu menjadi sesak,
dadakupun sesak, aku ingin sekali menangis tetapi tangisan tidak mampu lagi
keluar dariku. Kakak lelakiku
menghampiri ibu dan memeluk ibuku dengan kencang, amat kencang seperti tidak
rela ditinggalkan. Kakakku menolak dipisahkan dari ibu, menolak kenyatan
kepergian ibu kami. Ayah datang dengan tergesa-gesa dan memeluk aku dibawanya
ke kasur ibuku dan kamipun saling berdekapan disana. Hanya ada aku, ayahku,
kakakku, adikku dan jasat ibuku. Kulihat ayah membisikkan kalimat-kalimat yang
aku tidak mampu mendengarnya.
Ayah menahan tangisnya sambil
menggendong bayinya, kakak melepas pelukannya dan beralih menggendong aku. Mengusap-usap
dadaku seolah-olah mengerti kesedihan hatiku, barulah saat itu air mata kesedihan
mau keluar dari mataku. Aku bisa menangis, namun aku menahannya. Aku takut
kalau-kalau ibu tau dan menjadi semakin sedih di sana.
Setelah pemakaman ibu kami, ayah
menjadi semakin pendiam. Hari-harinya dihabiskan dengan merokok dan bekerja
terus-menerus. Ayah yang biasanya
semangat di pagi harinya, seperti kehilangan semangatnya. Namun ayah tetap
selalu menggendong aku dari kasur dan membawaku ke kamar mandi dan memintaku
untuk mandi. Kakak lelakiku semakin
intens memerhatikanku, kakakku mengubah perannya menjadi ibu, yang selalu ada
untukku dan adik kecilku.
Sarapan yang kami rasa tidak lagi
sama, meskipun selalu ada makanan kesukaanku tapi rasanya tak pernah sama
dengan yang dibuat oleh ibuku. Apakah aku memang suka makanan ini, atau aku hanya
suka masakan ibu?
Seperti benar apa yang dikatakan
orang-orang, “Ibu adalah ruh di dalam
rumah, rumah yang kehilangan ibu seperti jasat yang kehilangan ruhnya”. Hal itu juga yang aku dan keluargaku rasakan
saat ini.
#FIKSI #CERITAPANJANG #IBU
Love you so much Ummi
BalasHapus