CONTOH PROPOSAL SKRIPSI DENGAN METODE PENELITIAN KUALITATIF
DAYA TANGGUH (RESILIENSI) ANAK USIA
6-12 TAHUN DI PANTI ASUHAN ANEUK NANGGROE KEUTAPANG BANDA ACEH
A.
Latar
Belakang
Setiap
anak melalui perjalanan hidup yang berbeda-beda, ada anak yang merasakan
kehidupan bahagia semua serba ada dan tanpa susah payah mendapatkan apa yang
diinginkannya namun ada pula anak yang hidupnya jauh dari kata bahagia dan
serba ada, apabila menginginkan sesuatu harus berusaha terlebih dahulu dan
perjalanan kehidupan seperti ini dialami oleh tidak sedikit anak di negara
republik Indonesia tercinta ini. Hal ini bisa dikarenakan ketiadaaan orang tua,
kendala ekonomi maupun secara psikis. Salah satu alasannya yaitu dikarenakan
ketiadaan salah satu atau kedua orang tua. Hal ini membuat anak harus melalui
perjalanan pahit dalam hidup seperti harus tinggal di panti asuhan, hal ini
membuat kondisi mental dan psikis anak mengalami guncangan yang membuatnya harus
memiliki daya tangguh (resiliensi) lebih untuk menghadapi tantangan kedepan
dengan kondisi latar belakang yang tidak seberuntung anak-anak lain.
Resiliensi
adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk menghadapi dan mengatasi
kesulitan dalam hidup dengan cara yang adaptif, serta mampu belajar dari hal
tersebut sekaligus beradaptasi di dalam kondisi yang sulit tersebut[1]. Sedangkan
pendapat lainnya menurut Grotberg resiliensi adalah kemampuan manusia
untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan dan permasalahan
yang dihadapinya[2].
Sehingga dapat disimpulkan resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit
kembali dari kondisi yang membuatnya terpuruk dan mampu menyelesaikan
masalahnya dengan positif serta beradaptasi dalam kondisi yang sulit tersebut.
Orang
tua berperan penting dalam kehidupan anak baik dalam memberi efek posisif
maupun negatif kepada anak. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan,
dikemukakan bahwa resiko anak mengalami depresi, gangguan kepribadian, dan
pergaulan yang menyimpang akan kecil apabila mereka dibesarkan dalam keluarga
yang baik dan mampu memberikan dukungan
sebagai perlindungan. Namun tidak semua
anak mendapatkan dukungan dari keluarga, fasilitas yang memadai, teman-teman
yang menghargai serta kondisi keluarga yang sangat harmonis sehingga sangat
menjadi alasan anak menjadi positif dan berprestasi dalam hidupnya. Tekanan
dalam hidup dan ketidak adaan dukungan dari keluarga inilah membuat anak yang memiliki
masalah dalam hidup berjalan apa adanya tanpa adanya dukungan untuk menjadi
anak yang positif, berprestasi dan bermanfaat bagi banyak orang layaknya anak
yang hidupnya dengan kebahagiaan dan berkecukupan dalam hidupnya.
Pada
anak yang tidak memiliki orang tua tekanan-tekanan yang dialami akan semakin
banyak terkait dengan tidak adanya orang tua sebagai sumber kasih sayang,
perlindungan, dan dukungan. Ketiadaan orang tua (yatim piatu) merupakan kondisi
yang sangat kompleks bagi anak. Dalam kondisi yatim piatu hubungan yang intim
dengan ayah dan ibu tidak ada lagi dan dalam kondisi ini ada sebagian anak yang
harus tinggal di panti asuhan.
Berdasarkan
pengamatan awal peneliti di 4 panti asuhan di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar
yaitu panti asuhan aneuk nanggroe, panti asuhan darus sa’adah, panti asuhan
nirmala, dan panti asuhan muhammadiyah ditemukan beberapa kesamaan khas yang
dimiliki panti asuhan tersebut antara lain kurangnya pengasuh hingga jumlah
pengasuh tidak sebanding dengan banyaknya anak yang ada di panti asuhan. Hal
ini menimbulkan keseganan dan hubungan yang kurang akrab antara pengasuh dengan
anak yang ada di panti asuhan. Kesamaan khas lainnya adanya batasan dan
beberapa kegiatan rutin yang harus diikuti oleh anak di panti asuhan meliputi
jadwal belajar, jadwal sholat, jadwal piket dan jadwal keluar masuk panti.
Keadaan
dimana tidak sebandingnya banyak pengasuh dengan anak yang diasuh menjadi salah
satu faktor anak dipanti asuhan mendapatkan kurang perhatian, kasih sayang,
atau bimbingan dari pengasuh yang dapat membantu anak ketika menghadapi
masalah. Dengan sedikit bimbingan menjadikan anak harus mandiri dalam
menyelesaikan masalahnya. Selain itu panti asuhan sering dianggap sebagai
lembaga yang memenuhi kebutuhan fisik saja sehingga kebutuhan lain seperti
emosional tidak terpenuhi. Kondisi ini juga menjadi faktor anak memiliki
masalah psikologi dibanding anak pada umumnya yang masih memiliki orang tua
utuh dan keluarga yang penuh kehangatan.
Hal
tersebut dapat menyebabkan mereka menjadi tidak mampu beradaptasi dan bertahan
dari hal-hal negatif yang merusak. Anak yang resiliensi atau yang memiliki daya
tangguh adalah anak yang mampu menghargai diri sendiri, mampu mencari seseorang
untuk berbagi masalah yang dihadapi dan mampu bangkit dan bertahan dari masalah
yang dialaminya.
Resiliensi
sangat penting diteliti untuk mengetahui potensi yang ada di dalam diri dan
lingkungan individu ketika menghadapi masalah yang terjadi sehingga ia dapat
mengatasi hal-hal buruk yang terjadi. Anak yang resiliensi akan menjadi orang
dewasa yang resiliensi pula, Anak yang tidak resiliensi akan sulit bangkit dari
masalahnya dan tidak mampu mengontrol dirinya sendiri dan menjadi orang dewasa
yang tidak resiliensi pula[3]. Seperti
yang telah banyak kita temukan anak yang menjadi pecandu narkoba, suka berjudi,
pergaulan bebas dan lainnya halnya, ini mereka lakukan karena mereka merasa
tertekan dengan keadaan hidup dan ingin mencari pelampiasan atau karena mereka
tidak dapat menolak keadaan buruk yang masuk kedalam hidup mereka dan akhirnya
mereka mengikuti arus yang salah dikarenakan ketiadaan contoh tauladan dan
pemenuhan perhatian.
Berdasarkan
dari beberapa pendapat para ahli, penelitian yang telah banyak dilakukan, kondisi-kondisi khas yang ada di panti asuhan
dan latar belakang yang telah dipaparkan. Peneliti tertarik untuk melihat daya
tangguh (resiliensi) anak usia 6-12 tahun
secara mendalam walau hanya dalam skala kecil terkait dengan kondisi
khas mereka sebagai anak tanpa orang tua dan keberadaan mereka di lingkungan
panti asuhan. Dengan judul “Daya tangguh (resiliensi) anak usia 6-12 tahun di
panti asuhan Aneuk Nanggroe Keutapang Banda Aceh”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Bagaimana
daya tangguh (resiliensi) pada anak usia 6-12 tahun di panti asuhan aneuk
nanggroe Keutapang Banda Aceh ?
2. Apa
saja kesulitan yang dialami anak usia 6-12 tahun di panti asuhan aneuk nanggroe
Keutapang Banda Aceh dalam membentuk daya tangguh (resiliensi) pada dirinya?
3. Apa
saja kemudahan yang dialami anak usia 6-12 tahun di panti asuhan aneuk nanggroe
Keutapang Banda Aceh dalam membentuk daya tangguh (resiliensi) pada dirinya?
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui bagaimana daya tangguh (resiliensi) anak usia 6-12
tahun di panti asuhan aneuk nanggroe Keutapang Banda Aceh.
2.
Untuk mengetahui apa
saja kesulitan yang dialami anak usia 6-12 tahun di panti asuhan aneuk nanggroe
keutapang Banda Aceh dalam membentuk daya tangguh (resiliensi).
3.
Untuk mengetahui apa
saja kemudahan yang dialami anak usia 6-12 tahun di panti asuhan aneuk nanggroe
keutapang Banda Aceh dalam membentuk daya tangguh (resiliensi).
D.
Manfaat
Penelitian
Berdasarkan tujuan
penelitian di atas, dapat diperoleh manfaat atau pentingnya penelitian. Adapun
manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat
Teoritis.
Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan sehingga dapat digunakan
menjadi bahan literatur untuk penelitian yang sejenis di masa yang akan datang.
2. Manfaat
Praktik.
Hasil penelitian
diharapkan dapat memberi informasi kepada semua pihak yang terkait mengenai
daya tangguh (resiliensi) anak usia 6-12 tahun di panti asuhan.
KerangkaPemikiran
A. Defenisi Istilah
Untuk
menghindari kesalah pahaman terhadap konsep yang dibahas dalam penelitian ini, berikut
peneliti menjelaskan defenisi istilah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Daya
Tangguh (Resiliensi)
Dalam
penelitian ini resiliensi dipahami sebagai daya tangguh atau kemampuan menyesuaikan diri
yang tinggi sehingga mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan baik dalam masalah
internal maupun eksternal. Resiliensi juga merupakan kemampuan seseorang untuk
bangkit kembali dari hal yang tidak menyenangkan karena resiliensi melindungi
diri dari segala tekanan hidup, sehingga individu tetap mampu berfungsi secara
baik walaupun lingkungannya buruk dan penuh tekanan.
2. Anak
usia 6-12 tahun di panti asuhan
Anak
usia 6-12 tahun adalah masa usia sekolah tingkat SD bagi anak yang normal.
Perkembangan anak masih sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Dimana
secara mental anak masih dalam tahap mengembangkan konsep dan secara personal
sosial sudah dapat berbagi dan bekerjasama dengan lebih baik, sering cemburu
dengan adik dan akan curang untuk menang.
Anak
usia 6-12 tahun yang tinggal di panti asuhan adalah anak yang diasuh di suatu
lembaga yang disebut panti asuhan karena orang tua mereka meninggal dunia atau
tidak diketahui keberadaanya serta tidak ada lagi orang lain yang mampu merawat
dan mendidik anak tersebut.
B.
Landasan
Teori
1.
Daya Tangguh (Resiliensi)
1.1.Pengertian
Menurut
kamus terbaru bahasa Indonesia daya artinya tenaga atau kemampuan untuk
melakukan[1]
dan menurut kamus terbaru bahasa Indonesia tangguh adalah sulit dikalahkan, kuat, tahan[2]
dan dalam penelitian ini daya tangguh di ambil untuk mengartikan resiliensi. Ada
individu yang mampu bertahan dan bangkit dari situasi negatif yang menimpa
dirinya secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak
berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkannya. Kemampuan yang
dimiliki individu untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan dalam hidup dengan
cara yang adaptif, serta mampu belajar dari hal tersebut sekaligus beradaptasi
di dalam kondisi yang sulit tersebut dikenal dengan istilah resiliensi[3].
Istilah
resiliensi diformulasikan pertama kali oleh block dengan nama ego-resilien yang diartikan sebagai
kemampuan umum berupa kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat
dihadapkan pada tekanan internal dan eksternal[4].
Istilah
resilien kemudin mengalami perluasan yang diawali dengan penelitian Rutter dan
Garmezy tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan
sehingga resiliensi digunakan sebagai label deskriptif untuk menggambarkan anak
yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan yang
buruk dan penuh tekanan.
Disisi
lain dijelaskan resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dengan
kapasitas tersebut individu, kelompok maupun komunitas mampu mencegah,
meminimalisir ataupun mengatasi pengaruh yang bisa merusak saat mereka
mengalami ketidak beruntungan atau kemalangan.
Menurut
Grotberg ada beberapa faktor spesifik yang dapat membangun resiliensi seperti
hubungan persahabatan dalam kepercayaan dan komitmen, dukungan emosional yang
penuh kasih sayang di dalam maupun di luar lingkungan keluarga, penghargaan
terhadap diri, keberanian untuk mandiri, kepercayaan diri, harapan, berani
bertanggung jawab dan menerima resiko atas hal atau keputusan yang diambil rasa
dicintai, prestasi yang baik, percaya pada tuhan dan bermoral dan cinta yang
tidak bersyarat untuk orang lain[5].
Dari
pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah daya
tangguh untuk menyesuaikan diri yang tinggi sehingga mampu bertahan dan bangkit
kembali dari hal yang tidak menyenangkan dari situasi yang penuh tekanan baik
masalah internal maupun eksternal.Resiliensi melindungi dari segala tekanan
dalam kehidupan sehingga individu tetap mampu berfungsi secara baik walaupun
lingkungan sekitarnya buruk.
2.
Faktor-faktor
Resiliensi
2.1.Dukungan
Sosial (I Have)
I
Have merupakan dukungan dari lingkungan sekitar individu. Hubungan ini berupa
hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan tempat
tinggal yang menyenangkan. Gorberg menyatakan bahwa faktor dukungan sosial
dapat mengembangkan perasaan aman, faktor dukungan sosial terdiri dari: a. trusting relationship, b. struktur and rulles, c. role models d. encouragement
to be autonomous[6].
a. Trusting relationship
meliputi orang disekitar individu yang mampu dipercaya, memiliki kasih sayang
dan mengasihinya walau bagaimanapun kondisinya.
b. Struktur and rulles
orang yang bisa memberi batasan berprilaku dalam hidup sehingga individu
mengetahui kapan waktunya dia berhenti atau melanjutkan.
c. Role models
yaitu orang yang menunjukkan bagaimana cara yang benar, model moralitas, orang
yang ingin memberi pembelajaran tengtang bagaimana melakukan segala sesuatu
dengan acara sendiri dan orang menolong ketika sakit atau dalam bahaya.
d. Encouragement to be autonomous
orang yang mendorong untuk berani lakukan segala sesuatunya sendiri tanpa
khawatir dan mencari pertolongan ketika dibutuhkan.
2.2.Kekuatan
Diri (I Am)
I
am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang. Grotberg juga
menyatakan faktor kekuatan dari dalam diri (personal strength) dibagun dari
perasaan sikap, dan kepercayaan seseorang dapat mempengaruhi resiliensi
seseorang. Faktor kekuatan diri terdiri dari : a. Perasaan dicintai dan sikap
yang menarik, b. Loving, empatic dan
altruistic, c. Bangga pada diri sendiri, d. Mandiri dan bertangungjawab, e.
Dipenuhi harapan, iman dan kepercayaan[7].
a. Perasaan
dicintai dan sikap yang menarik meliputi keyakinan pada diri sendiri bahwa
dirinya bisa disukai dan dicintai, sensitif pada perasaan orang lain dan tahu
cara menghargai diri sendiri dan orang lain.
b. Loving, empatic dan altruistic
meliputi cinta pada orang lain yang diekspresikan dengan berbagai cara, senang
melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain dan senang menunjukkan perhatian,
peduli pada apa yang dirasakan orang lain dan mengekspresikan dengan bertindak
atau berkata-kata, ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi
penderitaan atau memberikan kenyamanan.
c. Bangga
pada diri sendiri meliputi menghargai diri sendiri, merasa diri berharga dan
bangga dan percaya pada diri sendiri atas apa yang bisa dilakukan dan sudah
dicapai diri.
d. Mandiri
dan bertangungjawab artinya individu mampu melakukan berbagai macam keinginan
dan menerima berbagai macam konsekuensi perilakunya. Individu merasa bisa
mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut karena mengeri batasan kontrol.
e. Dipenuhi
harapan, iman dan kepercayaan meliputi percaya bahwa selalu ada harapan,
mengetahui hal yang benar dan salah, setia pada hal-hal yang baik, dan
mengekspresikan hal itu sebagai kepercayaandalam tuhan atau spiritual.
2.3.Kemampuan
Sosial atau Interpersonal (I Can)
I can
merupakan kemampuan untuk melakuakn hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui
interaksinya dengan semua orang. Grotberg mengemukakan bahwa faktor kemampuan
sosial dibangun dengan cara berinteraksi dengan orang lain, faktor kemampuan
atau kecakapan sosial terdiri dari:
a. communicate, b. kemampuan
menyelesaikan masalah, c. kesadaran kritikal[8].
a. Communicate,
individu yang resilien adalah individu yang tetap mampu berkomunikasi dengan
baik, berperilaku positif serta menyesuaikan diri dengan baik meskipun individu
tersebut berada dalam tekanan hidup yang berat baik internal maupun eksternal
kemampuan ini meliputi :
1) Kemampuan
mengekspresikan pikiran dan perasaan pada orang lain atau kemampuan berbicara
kepada orang lain tentang hal-hal yang membuat takut atau menganggu, kemampuan
untuk tahu kapan waktu yang tepat untuk berbicara kepada seseorang atau
berdiskusi, berbagai perasaan untuk memecahkan masalah personal maupun
interpersonal atau konflik dan mengambil tindakan, maupun menentukan orang yang
tepat untuk membantu disaat diperlukan, mau mendengarkan apa yang orang lain
sarankan, mengkomunikasikan perbedaan, memahami, melakukan hasil dari diskusi
yang sesuai.
2) Kemampuan
meniru perilaku positif orang lain, dan penyesuaian diri.
b. Kemampuan
menyelesaikan masalah, individu yang resilien adalah individu ynang mampu
menguasai masalah dengan berpikir kritis khususnya ketika berada dalam situasi
yang penuh tekanan dan segera mencoba mengatasi masalah dengan pikiran-pikiran positif serta
menegosiasikan penyelesaian masalah yang tepat dan kreatif dengan orang lain.
c. Kesadaran
kritikal, individu yang resilien mampu segera mengetahui tekanan atau masalah
apa yang sedang dialaminya dan mampu memahami bagaimana cara yang tepat untuk
mengatasi perasaan-perasaan dan dorongan yang negatif.
Faktor-faktor tersebut
digunakan untuk melihat resiliensi secara tidak langsung.
3.
Anak
usia 6-12 tahun
Anak
usia 6-12 tahun adalah masa usia sekolah tingkat SD bagi anak yang normal.
Perkembangan anak masih sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Dimana
secara mental anak masih dalam tahap mengembangkan konsep dan secara personal
sosial sudah dapat berbagi dan bekerjasama dengan lebih baik, sering cemburu
dengan adik dan akan curang untuk menang.
Anak
usia 6-12 tahun anak sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
berdasarkan nalarnya sendiri, ada beberapa tahap perkembangana anak pada usia
ini diantaranya :
a. Aspek
Kognitif
Menurut
piaget menyatakan anak usia 6-12 tahun berada dalam tahap operasional konkret.
Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan
benda-benda yang bersifat konkret. Pada tahap ini, ditandai dengan tiga
kemampuan baru yang akan dikuasai anak, yaitu kemampuan mengklasifikasikan
(mengkelompokkan), menyusun, dan mengasosiasikan angka atau bilangan. Kemampuan
kognitif pada masa ini merupakan dasr diberikannya ilmu seperti membaca,
menulis, dan berhitung[9].
b. Asfek
Fisik/Motorik
Peubahan
fisik yang terjadi pada masa ini, akan berjalan lebih lambat dibanding masa
bayi dan masa awal kanak-kanak. Pada masa usia sekolah ini anak sudah siap
menerima pelajaran keterampilan yang berkaitan dengan motorik, seperti menulis,
menggambar, melukis, mengetik (komputer), berenang, bermain bola dan atletik.
c. Asfek
Bahasa
Kemampuan
anak dalam mengenal dan menguasai perbendaharaan kata mengalami perkembangan
yang pesat pada usiasekolah. Sekitar 2.500 kata yang dikuasai oleh anak usia 6
tahun, akan meningkat menjadi 50.000 kata yang bisa dikuasai saat nanti anak
berusia 11-12 tahun.
d. Aspek
Sosio-Emosional
Menurut
erikson anak usia 6-12 tahun akan memasuki tahap industrial vs inferioritas.
Kalau sebelumnya anak banyak berada di lingkungan keluarga, pada tahap ini anak
akan banyak keluar ke lingkungan sekolah. Sehingga semua aspek memiliki peran
bagi anak (orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian,
teman harus menerima kehadirannya)[10].
Pada
masa usia 6-12 tahun ini anak harus bisa belajar menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang pada saat ini terlalu banyak perubahan yang sangat cepat dan tidak
semuanya menguntungkan anak sehingga apabila anak tidak resilien akan sulit
menjadi anak yang positif dan berprestasi dalam keadaan yang menguntungkannya.
4.
Panti
Asuhan
Panti
asuhan merupakan lembaga sosial yang menampung, merawat dan mendidik anak-anak
terlantar akibat dari berbagai hambatan yang dialami berupa ketiadaan orang tua
masalah sosial dan ekonomi. kematian orang tua maupun perceraian orang tua, Salah
satu penyebab anak di panti asuhan adalah karena tidak ada lagi keluarga yang
merawat anak baik kerena orang tua sudah meninggal atau karena tidak mampu
secara ekonomi sehingga satu-satunya cara adalah menyerahkan mereka ke panti
asuhan dengan harapan ada perlindungan yang diperoleh disana (www.wikipedia.com).
Panti
asuhan juga merupakan suatu lembaga pelayanan berfungsi pengganti fungsi
keluarga yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental dan
sosial kepada anak asuh serta memeberi bekal dasar yang dibutuhkan anak asuh
untuk perkembangannya. Tujuan pengasuhan anak di panti asuhan dana di keluarga
sesungguhnya adalah sama, namun cara pengasuhan dapat berbeda. Jika dirumah,
orang tua mengasuh anak dalam jumlah kecil (1-6 orang), maka pengasuhan di
panti asuhan dilakukan oleh pengasuh terhadap anak dalam jumlah besar mencapai
kurang lebih 40-100 orang anak.
5.
Daya
Tangguh (Resiliensi) Anak Usia 6-12 Tahun di Panti Asuhan
Menurut
Liquanti (www.ncrel.org)
resiliensi sangat diperlukan disetiap tahapan kehidupan manusia tidak
terkecuali pada masa anak-anak. Resiliensi pada anak merupakan kemampuan pada
anak dimana anak mampu bertahan disaat anak menghadapi tekanan dan kesulitan dalam lingkungan.
Ketika situasi tertekan, sulit atau ada pengalaman traumatis, remaja yang
memiliki resiliensi adalah remaja yang tetap dapat menjalankan fungsinya dengan
baik dengan mampu mengatur diri dan menjalankan rutinitas sehari-hari serta
berkembang sebagaimana tugas perkembangannya.
Anak
yang ditempatkan di panti asuhan adalah anak yang tidak memiliki orang tua atau
keluarga yang mengasuhnya.Keadaan dimana tidak adanya orang tua dan keluarga
dalam pengasuhan adalah keadaan yang kompleks bagi anak. Kehadiran orang tua
memegang peranan penting dalam perkembangan fisik dan psikis anak khususnya
anak usia 6-12 tahun, dimana anak memerlukan dukungan secara emosional jika ia
mengalami masalah sehingga ia dapat mengembangkan kehidupan sosialnya dengan
baik.
Dalam
situasi dipanti asuhan pengasuh bisa berperan sebagai orang tua pengganti, namun
karena begitu banyaknya anak yang diasuh, pengasuh kesulitan memperhatikan dan
mengasuh setiap anak di panti asuhan secara seksama. Oleh karena itu hubungan
antara pengasuh dan anak asuh dipanti asuhan kurang intim layaknya anak dengan
orang tua. Dalam keadaan demikian panti asuhan tetap berusaha untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang tinggal disana dengan harapan perkembangan anak tetap
sehat.
Perkembangan
sehat antara perkembagan psikis, fisik dn sosial seorang individu akan
menghasilkan suatu kepribadian yang utuh dan dewasa. Individu yang dewasa dalam
psikis akan mampu menerima kehiduapn yang dihadapi, keluar dari masalah berat
yang terus ada, sehingga individu mampu hidup di tengah-tengah masyarakat luas
secara harmonis.
Kehilangan
orang tua mempengaruhi banyak aspek kehidupan anak. Pada hakikatnya, setiap
orang berusaha memahami dunianya lewat semacam kerangka rujukan. Anakpun
membutuhkan suatu kerangka untuk mengevaluasi sesuatu yang baru. Mereka yang
memiliki orang tua yang utuh yang memberi kehangatan, memiliki kerangka yang
sarat informasi dari kedua orang tuanya.Ketika kedua orang tuanya tidak ada,
maka kerangka rujukannya berubah menjadi tidak adanya informasi dan anak
kehilangan model positif seperti orang tua yang bisa membangkitkan rasa percaya
diri anak.
Berdasarkan
survey awal peneliti di beberapa panti asuhan, pengasuh bukan merupakan orang
yang bisa mereka percaya karena kurangnya keterikatan dan kehangatan di antara
mereka. Ketika anak mengalami masalah, pengasuh sering kali tidak bisa memahami
secara detail apa yang sedang terjadi pada setiap remaja di panti asuhan. Hal
itu karena keterbatasan pengasuh dan tidak memungkinkan untuk mengamati anak
satu persatu secara detail. Karena anak memerlukan model dan dukungan positif
dari orang yang ada disekitarnya.
C.
Metode
Penelitian
1.
Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Penelitian
ini mengunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang lebih menekankan
pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta hubungan antar fenomena
yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah[11]. dengan
menggunakan metode deskriptif eksploratif dimana penelitian deskriptif melakukan
analisis hanya sampai taraf deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan
data-data secara sistematik sedangkan eksploratif merupakan jenis penelitian
yang bertujuan untuk menemukan sesuatu berupa pengelompokan suatu gejala dan
fakta. Penelitian deskriptif eksploratif yaitu jenis penelitian non hipotesis
yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan tertentu untuk diangkat dan
dipaparkan hasilnya dengan perolehan data yang berupa data kualitatif[12].
2.
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
di panti asuhan Aneuk Nanggroe Keutapang Banda Aceh. Panti asuhan ini dipilih
sebagai tempat penelitian oleh
peneliti untuk meneliti daya tangguh (resiliensi) anak usia 6-12 tahun si panti
asuhan tersebut. Di panti asuhan tersebut belum pernah dilakukan penelitian
tentang daya tangguh (resiliensi) anak
usia 6-12 tahun.
3.
Subjek
Penelitian
Subjek
penelitian adalah anak usia 6-12 tahun yang tinggal di panti asuhan. Anak yang
dipilih peneliti dengan pertimbangan bahwa anak usia 6-12 tahun adalah masa
perkembangan yang sangat memerlukan contoh sebagai model dan orang yang bisa
mendorongnya menjadi manusia yang positif. Dan apabila dimasa ini anak sudah
menerima tekanan hidup akan berpengaruh untuk masa depannya.
Kriteria
subjek adalah anak usia 6-12 tahun, yatim atau piatu, dan tinggal di panti asuhan. Pengambilan
sampel menggunakan Purpossive Sampling yaitu pengambilan sample yang didasarkan
pada ciri-ciri tertentu yang sudah di tentukan sebelumnya. Adapun anak-anak
yang akan menjadi subjek dalam penelitian ini berjumlah 10 orang anak usia 6-12
tahun di panti asuhan aneuk nanggroe .
4.
Teknik
Pengumpulan Data
Adapun
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu
sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi merupakan
teknik pengumpulan data yang diperlukan guna mendapatkan data. Adapun cara yang
digunakan dalam teknik ini adalah dengan melakukan interaksi sosial antara
pencari informasi dengan pemberi informasi. Menurut Sugiyono[13] proses
pelaksanaan pengumpulan data observasi dibedakan menjadi participant observation dan non participant observation. Dalam
penelitian ini peneliti akan melakukan observasi ketika melakukan wawancara kepada subyek dan
membuat catatan lapangan tentang bagaimana mereka menjalankan aktifitas
sehari-hari di panti asuhan sampai tentang bagaimana hubungan antara subjek
dengan pengasuh, subjek dengan temannya.
b.
Wawancara
adalah suatu proses percakapan antara dua individu atau lebih yang terarah,
dimana salah satu pihak menjadi pencari informasi, dan di pihak lain sebagai
pemberi informasi tentang suatu hal yang akan diungkapkan.
Wawancara akan terfokus
dan mendalam (semi terstruktur), dengan mewawancarai 10 orang anak usia 6-12
tahun yang tinggal di panti asuhan aneuk nanggroe Keutapang Banda Aceh dan
bertujuan untuk mengetahui resiliensi mereka, wawancara juga dilakukan kepada
pengasuh aneuk nanggroe dan sahabat subyek
Hal yang
akan digali dalam wawancara subyek:
1.
Daya
tangguh (resiliensi) anak usia 6-12 tahun yang berada di panti asuhan.
2.
Hal-hal
yang mungkin muncul di dalam wawancara.
Adapun hal pokok yang
ingin diungkap yang digunakan sebagai rancangan wawancara:
1)
Dukungan
sosial (I Have)
a.
Trushting relationship, meliputi orang disekitar individu yang bisa
dipercaya dan yang mengasihi individu.
b.
Structure dan rulles, meliputi orang yang bisa memberi batasan atas
perilaku individu tersebut.
c.
Role models, meliputi orang yang menunjukkan cara sesuatu yang benar, model
moralitas.
d.
Encouragemen, meliputi orang yang mendorong untuk berani melakukan sesuatu sendiri
dan mencari pertolongan ketika dibutuhkan
2)
Kekuatan
diri (I Am)
a.
Perasaan
dicintai dan sikap yang menarik
b. Loving,
emphatic, and altruistic
c.
Bangga pada diri sendiri
d.
Mandiri dan bertangung jawab
e.
Dipenuhi harapan, iman dan
kepercayaan
3)
Kecakapan
sosial (I Can)
a. Communicate
b. Problem
solve
c. Critical
consciousness
5. Teknik
Analisis Data
Dalam
penelitian ini digunakan teknik analisis data adalah teknik analisis model
Miles dan Huberman[14]
mengajukan model analisis data dalam penelitian kualitatif, dikenal sebagai model
interaktif.
Model interaktif ini terdiri dari tiga hal
utama, yaitu: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) penarikan
kesimpulan/verifikasi. Ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang
jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam
bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis.
a.
Data Reduction (Reduksi Data)
Sugiyono[1]
menjelaskan bahwa mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, untuk dicari tema dan polanya sehingga akan
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya. Dalam penelitian ini, reduksi data dilakukan
dengan memfokuskan hasil wawancara, observasi, dandokumentasi pada pengasuh
panti asuhan, subjek, dan sahabatnya di panti asuhan Aneuk Nanggroe.
b.
Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi,
proses selanjutnya adalah melakukan penyajian data. Dimana penyajian data dalam
penelitian kualitatif dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart
dan sejenisnya. Tujuannya untuk mempermudah peneliti dalam menguasai dan
memahami data yang telah dikumpulkan dan merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Penyajian data yang akan
digunakan dalam penelitian iniakan disesuaikan dengan hasil analisis data di
lapangan nantinya.
c.
Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan)
Langkah ketiga dalam
analisis data adalah Penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan dengan
melihat hasil reduksidata dan tetap mengacu pada rumusan masalah serta tujuan
yang hendak dicapai.
DAFTAR
PUSTAKA
Afriani Napitupulu, Cahaya. (2009;10). Resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan mardi siwi kalasan
yogyakarta. Skripsi online tidak diterbitkan.Yogyakarta. Universitas Sanata
Darma.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosudur
penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta. PT. rineka cipta.
Azwar,Saifuddin. (2010). Metode
Penelitian.Yogyakarta. Pustaka pelajar.
El-hana. (2016). Perkembangan anak:
usia 6-12 tahun. Diakses 24 November 2016 dari.http://elhanalearningkit.com
Grotberg, E. (1995). A Guide To promoting resilience in children: Strengthening the human spirit. Benart Van Leer Foundation.
Handayani, Fitrianti. (2010;27). Hubungan
antara kekuatan karakter dengan resiliensi residen narkoba di unit pelaksana
teknis terapi dan rehabilitas badan narkotika nasional lido.Skripsi online
tidak di terbitkan. Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah.
Klohnen. E.C (2004;2) ego-control
and ego-resiliency: generalization of self reports cales based on personality
descriptions from acquaintances, clinicians and the self.Volume. 70 no 5, p
1067-1079.
Reality.
(2008). Kamus terbaru bahasa Indonesia.
Surabaya. Reality Publisher
[1]
Reality. Kamus
terbaru bahasa Indonesia. (Surabaya: Reality Publisher. 2008) hal 1260.
[2]
Ibid., hal. 517
[3]
Firanti Handayani. Hubungan antara
kekuatan karakter dengan resiliensi residen narkoba di unit pelaksana teknis
terapi dan rehabilitas badan narkotika nasional lido. Skripsi online tidak
diterbitkan. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2010) hal 27.
[4]
E.C. Klohnen. Ego-control and ego-resiliency: generalization of self report cales
based on personality descriptions from acquaintances, clinicians and the self.
Volume. 70 no 5, p 1067-1079. 1996. Hal. 2.
[5] E
Grotberg. Aguide to promoting resiliensce
in childern: stenghening the human spirit. Benrt van leer foundation. 1995
. hal 10
[6]
Ibid. hal 11
[7] E
Grotberg. Aguide to promoting resiliensce
in childern: stenghening the human spirit. Benrt van leer foundation. 1995
. hal 12
[8] E
Grotberg. Aguide to promoting resiliensce
in childern: stenghening the human spirit. Benrt van leer foundation. 1995
. hal 13
[9] El-hana. Perkembangan anak usia 6-12 tahun. http://elhanalearningkit.com. Diakses 1 November 2017.
[10] El-hana.
Perkembangan anak usia 6-12 tahun. http://elhanalearningkit.com.
Diakses 1 November 2017.
[11]
Saifuddin Azwar. Motode Penelitian. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010) hal. 5
[12]
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian suatu
pendekatan praktek. (Jakarta: PT Rineka Cipta.2002). hal 15.
[13] Sugiyono.
Metode penelitian pendidikan. (Bandung: Alfabeta. 2012) hal 203
[14] Sugiyono.
Metode penelitian pendidikan. (Bandung: Alfabeta. 2012) hal 337
[1] Firanti Handayani. Hubungan antara kekuatan karakter dengan resiliensi residen narkoba di
unit pelaksana teknis terapi dan rehabilitas badan narkotika nasional lido.
Skripsi online tidak diterbitkan. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2010) hal
27.
[2] E Grotberg. Aguide to promoting resiliensce in childern:
stenghening the human spirit. Benrt van leer foundation. 1995 . hal 2
[3] Cahaya Afriani N. Resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan mardi siwi kalasan
Yogyakarta. Skripsi online tidak di terbitkan. (Yogyakarta: Universitas
Satana Darma.2009) hal . 6.
Komentar
Posting Komentar