PERTUALANGAN MENCARI ILMU DIMULAI DARI HARI INI



Deru  modil sudah berhenti, satu persatu penumpangnya turun dengan pikiran mereka masing-masing namun tetap dengan satu harapan agar ia kerasan dan betah tinggal di pondok ini. Dialah Alena putri semata wayang dari tiga bersaudara yang manis, manja dan sederhana, bukan hanya soal penampilan alena memiliki selera yang sederhana namun pemikirannya juga. Untuknya bahagianya adalah ketika melihat orang lain tersenyum tulus kepadanya.
Angin lembut mulai menyapanya yang belum juga turun dari mobil sedan corona hitam, dibetulkannya letak jilbabnya yang sudah sedikit mereng karena tertidur di perjalanan, lalu ia mulai melangkah untuk selanjutnya berdiri dan memandang ke seluruh penjuru asrama putri yang mampu di tangkap oleh indra penglihatannya.
Aroma dari pohon sawit yang sangat kuat merasuki rongga pernafasannya dan tersuling didalam paru-paru gadis manis ini, dahinya berkerut memandang objek yang jauh. Ya Alena sedang berusaha melihat kamar yang akan ia tempati dari jarak jauh, sembari menguji ketajaman matanya dan ternyata kamar yang akan ia tempati tepat didepannya delapan meter dari tempat ia berpijak. Kamar Fatimah, ia memandang lembut kearah ibu, ayah, dan adik-adiknya yang tengah sibuk mengeluarkan barang-barangnya, namun sama sekali ia tidak tertarik untuk membantu. Hatinya berkata “ah… biarlah mereka saja yang mengerjakan, karena 2 orang dewasa dan 2 anak laki-laki sudah memiliki tenaga yang cukup untuk mengeluarkan barang-barang itu”.
Ia tidak mengerti apa yang sedang hatinya rasakan ada perasaan deg-degan, takut, penasaran, semangat, dan nyaman yang membuat dadanya sedikit merasakan sesak. Mengapa nyaman? Karena Alena sendiri yang memilih pondok ini menjadi tempatnya berpetualang mencari ilmu kelak. Ilmu dunia dan akhirat, ilmu yang diharapkannya dapat menghantarkannya ke surga dan mencapai cita-citanya menjadi seorang dosen. Dan ia telah jatuh hati pada tarikan nafas pertamanya di pondok ini, pondok ini merupakan pondok pesantren yang sederhana yang isinya banyak ditumbuhi pohon sawit dan pepohonan lainnya, disetiap pojok pondok ini kita dapat menemukan santri dan santriwati dengan Al-qur’an dan buku pelajaran di tangannya.
“Ayo Alena”, suara panggilan dari ayahnya dan mampu membuyarkan pikiran-pikiran yang menggulung bagai gulungan benang kusut dikepalanya. Ia melihat wajah ayahnya yang dominan seperti orang India sambil tersenyum dan berkata “Ayo ayah, Alena sudah tau dimana kamarnya, itu kan?” jawabnya manja sembari menunjuk ke arah kamar, dan ditanggapi dengan senyuman ayahnya yang sedari tadi memperhatikan putri semata wayangnya kemudian  ayahnya mengangguk meng iya kan.
Alena melihat ke arah ibu dan adiknya lalu mengambil sebuah tas bunga-bunga kesayangannya dan melangkah maju menuju kamar yang akan menjadi tempatnya kelak tinggal.
Ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah menduluaninya masuk ke kamar itu, Alena masuk dan memandangi kamarnya, meskipun ia telah lulus dan sah menjadi santriwati di pondok ini namun inilah kali pertama ia melihat bentuk kamar anak pondok, ada 10 ranjang tidur bertingkat yang terbuat dari besi, 10 lemari dua pintu yang belakangan alena tau bahwa satu lemari bagi dua dengan teman sebelah-sebelahan, dan ada 2 jendela besar dengan gorden bewarna biru. Warna cat dinding kamar ini sendiri senada dengan warna cat depan yaitu putih bersih, sepertinya bangunan ini baru selesai di rehab untuk penyambutan santri/santriwati baru. Dibukanya lemari yang bertuliskan Alena Az-Zahra didepannya, dan ternyata berisi satu seprey dan sarung bantal bewarna biru langit polos. Sedangkan ibunya mulai membuka barang-barang Alena dan memasukkannya ke dalam lemari sambil menerangkan hal-hal penting yang harus Alena ketahui, maklum sebagai putri semata wayang Alena sangat dimanjakan oleh ayah, ibu, bahkan kedua adiknya juga sangat sayang kepadanya.
“kak, nanti lemarinya semingu sekali dibersihkan, biar tidak masuk tikus” kata ibu kepada Alena yang mampu membuat Alena bergendik. “memangnya kalau tidak dibersihkan masuk tikus Ma?” Tanya Alena penasaran.
“Iya, bukan hanya tikus tapi kecoa, cacing dan semua binatang itu suka tinggal di tempat yang kotor sayang” jawab ibunya. “kan ditutup rapat?” jawab Alena tidak mau kalah berpendapat. “tetap, binatang-binatang itu akan berusaha masuk, kalau tidak percaya cobatlah” jawab ibunya menantang sambil tersenyum dan dijawab dengan gelengan dan cengiran oleh Alena.
Tiba-tiba dari jendela muncul seorang bocah laki-laki yang memanggilnya Zahra. bukan… bukan adik laki-lakinya tetapi teman yang dia kenal ketika testing dan sangat menyebalkan menurutnya. Mengapa dia menggil Alena dengan Zahra, karena waktu testing anak laki-laki ini berusaha melihat nama Alena namun ditutup dan yang tampak hanya tulisan Zahranya saja. Kemudian Alena datang kepadanya dan bertanya. “kamu lulus juga?”. Anak laki-laki itu tersenyum dan menjawab “Iya dong… aku lihat nama kamu di papan pengumuman makanya aku kesini untuk memastikan”.
“panggil aku Alena, jangan Zahra itu asing untuk aku” pinta Alena. “tidak mau, yang aku kenal itu Zahra bukan Alena” kata anak laki-laki yang mampu membuat Alena menarik dan menghembuskan nafasnya kuat.
“ya sudah kalau itu maumu” jawab Alena cuek. Anak laki-laki itu berkata “boleh aku minta kertas koran untuk alas lemariku? Ibuku lupa membawanya”. Tanpa menjawab Alena masuk kekamar dan menggambil koran yang tersisa, yang dibawa oleh ibunya. “ini, bawa semuanya mana tau nanti butuh banyak”. Sambil menyerahkan setumpuk kertas koran kepada Qosim temannya. Ya, Qosim adalah nama anak laki-laki itu alena tau karena tanpa dimintapun anak laki-laki itu sudah memperkenalkan dirinya ketika testing masuk dulu.
“terima kasih Zahra” jawab anak laki-laki itu dan berlari kecil meninggalkannya. Sungguh baru kedua anak ini ketahui belakangan bahwa santri putra dilarang datang ke asrama santri putri, jadi itu untuk pertama dan terakhir kalinya Qosim datang ke kamar Alena, selanjutnya mereka bertemu di kelas.
Dikamar Fatimah ini Alena bertemu banyak sekali teman, satu kamar berisi 20 santiwati sebaya Alena, dengan ramahnya Alena berkenalan dengan satu persatu teman sekamarnya dan Alena ketahui teman yang tidur di ranjang tepat atasnya itu bernama Lia. Alena merasa bahagia mendapatkan banyak teman yang kelihatan sangat baik-baik semua. Ada Soraya, Lia, Rida dan Ari yang merupakan empat orang pertama yang dikenal oleh Alena di kamarnya.
Kemudian Alena dan ibunya pamit keluar disusul ayah dan kedua adik laki-lakinya kembali kemobil dan mengeluarkan rantang makanan dan tikar yang sudah dipersiapan untuk makan siang dibawah pohon sawit nan rindang. Saat itu hati Alena sudah dipenuhi dengan kebahagiaan memiliki teman sekamar yang baik dan cepat akrab dengannya walaupun belum semua teman dikenalnya karena belum semuanya masuk.
“kira-kira kakak betah tidak disini?” Tanya ayahnya tiba-tiba. Sambil megunyah makanannya Alena mengangguk meng iya kan bahwa ia akan betah tinggal dan belajar di pondok ini. Ayah dan ibu dan kedua adiknyapun tersenyum melihat tanggapan Alena yang menyiratkan kesungguhan itu.
“jadi nanti kapan kakak pulang kerumah Ma?” Tanya adik bungsunya. “nanti kalau sudah waktunya liburan kita akan jemput kakak pulang sayang, sekarang kakak harus belajar dulu disini nanti adek juga kalau sudah besar akan mondok juga kok” dan adik kecilnya menjawab “kalau aku rindu kakak gimana?” sambil memasang muka sedih.
“ya kita ke sinilah, iya kan yah?” potong si abang yang merupakan anak kedua dan juga adik Alena. “iya betul, nanti kita akan sering mengunjungi kakak” jawab ayah dengan jawaban yang mampu menghilangkan kekhawatiran anak bungsunya itu.
Ketika sore harinya ayah, ibu, dan kedua adiknya berpamitan untuk pulang. Alena mencium semua anggota keluarganya dihatinya ada perasaan sedih karena akan ditinggal, senang karena mempunyai teman baru dan semangat karena akhirnya pertualangannya mencari ilmu secara mandiri dimulai mulai dari hari ini.

Komentar

Postingan Populer