M E N I K A H

"Sah...." "Sah.." "Alhamdulillah..."

"Barakallahulakuma wabarokal'alaikuma wajama'a bainakuma fiikhair..." 

Riuh suara mengucap kesyukuran, air mata kebahagiaan dan doa-doa indah dipanjatkan untuk sepasang pengantin baru. pengantin itu adalah aku.

Iya, aku... Di penghujung usia 26 tahun, aku dinikahi oleh lelaki yang Tuhan takdirkan menjadi suamiku, imamku, sahabat hidupku, pintu surgaku.

Rasa haru, bahagia, sedih, syukur menyeruak memenuhi dada. Air mata pun seperti membeku, ikut pusing menentukan apakah harus tumpah atau bertahan tertampung di mataku.

Setelah semalaman otak dan mataku bekerja sama. Sama-sama tidak mengizinkanku beristirahat dari berpikir dan tidak mengizinkanku mengantuk apalagi tidur barang sejenak. Semalaman itu juga aku diliputi rasa yang tidak karuan, perasaan campur aduk menghadapi hari esok. Hari yang mengubah kehidupanku nyaris 360 derajat. 

Mata terpejam, namun tidak ada barang sedetikpun aku tertidur. 

Kini tepat dua bulan pernikahanku.... Lelaki yang saat ini sedang tidur dengan pulasnya di sebelahku adalah suamiku. Orang yang berani mengambil tanggung jawab penuh atasku dari bapak dan mamak. Laki-laki yang dipilihkan langsung oleh Tuhan melalui perantara bapak dan ayah mertuaku. 

Tak pernah habis takjubku dengan kuasa Tuhan, kalau bukan karena perintahNya dan kalau bukan karena sunnah nabiNya mungkin aku memilih sendiri daripada merepotkan diri mengerti, menaati, memahami, berbakti, melayani, berwajah manis kepada orang lain selain orangtuaku.

Rasa bahagia dan rasa syukur, dua rasa itulah yang aku bangun setiap harinya di diriku. Bagaimana tidak, segala yang haram menjadi halal. Senyumku pahala, menyentuh pahala, lelahku pahala, menahan amarah pahala, baktiku pahala. Ibadah terpanjang yang akan kulalui hingga akhir hidupku.

Tak jarang setan dan khawatirku menggelitik mengubah mood harianku. Melalui bacaan yg kubaca dari media dan ucapan orang-orang tentang apa  dan bagaimana itu kehidupan berumah tangga. Namun kutepis dengan istigfar disepanjang rutinitasku.

Alih-alih aku mengeluh, sejujurnya ada banyak kekhawatiran yang sulit untuk aku jabarkan. Namun selalu aku tanamkan dalam diri, bahwa aku harus mensyukuri setiap apa yang telah Tuhan beri, agar Tuhanku menambah nikmatnya untukku. Bukankah itu janji tuhan kepada hambanya? Janji siapa lain yg paling tepat selain Tuhanku, Allah SWT.

Kekhawatiran akan masa depan yang belum tampak olehku. Aku terbiasa untuk tidak terlena oleh bayangan akan masa depan yg kubangun sendiri. Aku takut nantinya akan membebankan dan menaruh harapan besar kepada suamiku yang berujung mengecewakan diriku sendiri. Mengingat aku sangat mencintai diriku, aku berusaha menahan rasa itu. 

Hari-hari kulalui dengan melakukan yang terbaik, sekuat dan sebisaku, sembari berpikir "oh.. Tuhanku akan berikan ganjaran pahala  atas usahaku". Apakah aku salah? Toh hidupku ini juga tujuannya untuk beribadah, Tidak ada hal lain. 

Seperti ikrarku pada diriku dulu, aku menjaga diriku untuk orang yang kelak menjadi suamiku. Dia akan kucintai sejatuh-jatuhnya cinta, sepenuh-penuhnya hati tapi harus tetap karena-Nya. Semoga aku tidak terlena dengan nikmat yang bisa jadi ini adalah ujian untukku. Ujian dari Tuhan untuk melihat kesungguhanku dalam mencintaiNya. 

Tuhan... Hanya cintaku padaMu yg kuharapkan imbalannya, bukankah engkau suka jika aku hanya berharap padaMu?

Suamiku... ketahuilah, bertemu dan dipersatukan denganmu merupakan salah satu aamiin ku yang paling serius.



Komentar

  1. Turut bahagia atas aminnya yg Allah kabulkan diwaktu terbaik.. sungguh, mata ini menjadi saksi ketulusan yg selalu bergerak..
    Sehat dan bahagia selalu bersama suami...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer